Mata
Anda sering “dipaksa” untuk menoleh ke sebuah billboard. Tanpa sadar,
mata seperti ditarik untuk melihat gambar yang unik dan tak terduga.
(Rakhmat Supriyono, Desain Komunikasi Visual)
Penulis,
Karnoto | Founder MahartiBrand
Dunia
periklanan saat ini makin atraktif. Sejak kita bangun tidur, mandi, di
kendaraan umum, di jalan tol, di tempat kerja, layar televisi termasuk
tiang listrik, menjadi ”korban” atraktif periklanan. Tulisan kali ini
saya tidak akan membahas tentang urgensi iklan atau manajemen
periklanan.
Namun saya ingin menyampaikan bahwa setiap produk memiliki identitas. Identitas atau merek bukan hanya sekadar membedakan dengan pesaing, tapi identitas menjadi represntase sebuah produk.
Lihat
identitas A Mild yang iklannya kreatif. Atau sampoerna hijau yang
sukanya rame-rame. Semua itu identitas yang penting dalam sebuah
marketing. Nah, untuk menjual diri pun kita harus memiliki identitas
yang kuat. Persaingan rokok begitu hebat, sehingga membutuhkan sebuah
identitas yang berkarakter.
Identitas
atau merek secara definisi tidak perlu saya jelaskan lagi, karena sudah
ada pada tulisan terdahulu. Pentingnya sebuah merek hingga urusan ini
membutuhkan anggaran yang tidak sedikit. Ini yang dialami pada merek
larutan cap kaki tiga, dimana dua perusahaan saling klaim sebagai pihak
yang paling berhak untuk menggunakan merek tersebut.
Perang klarifikasi di media pun mencuat, seperti yang pernah dimuat di Kompas 12 Agustus, yang memuat sanggahan PT Sinde Budi Sentosa atas klaim penggunaan merek cap kaki tiga dengan karakter badak bercula oleh PT Wen Ken Drug asal Singapura.
Begitu mahalnya identitas sebuah produk. Diri
kita pun harus memiliki identitas agar menjadi mahal harganya.
Identitas diri kita itu bisa berupa kaya gagasan, ahli motivator,
penulis, ahli pemasaran, ahli komunikasi atau pun politisi.
Philip
Kotler dalam bukunya Manajemen Pemasaran memberikan enam kriteria utama
perihal merek. Keenam kriteria itu yaitu dapat diingat, berarti, dan
dapat disukai. Ketiga kriteria ini disebut dengan pembangunan merek,
sedangkan tiga kriteria lainnya yaitu dapat ditransfer, dapat
disesuaikan dan dapat dilindungi merupakan kriteria defensif.
Anda
ingat Mario Teguh dengan Golden Ways yang sering tayang di Metrotv?,
atau Anda ingat Kuis Siapa Dia?, terakhir anda ingat tagline Hidup
Adalah Perbuatannya Soetrisno Bachir? Semua itu adalah identitas
personal yang mereka bangun dan secara tidak sadar merasuki dalam
pikiran kita.
Identitas atau merek menurut Philip Kotler, merupakan aset
tak berwujud yang berharga dan harus dikelola dengan seksama. Dari apa
yang dikatakan Philip, jelas bahwa identitas personal kita merupakan
aset yang tak berwujud tapi mahal harganya.
Sekali
lagi, penulis ingin menyampaikan bahwa identias dalam konteks personal
bisa berupa reputasi, gagasan atau ide. Nah, kalau reputasi yang
merupakan identitas personal kita hancur di mata publik maka tamatlah
riwayat diri kita. Kalau dalam konteks produk, andaikan produk kita
ternyata tidak halal dan bercampur lemak babi maka sebagian umat muslim
tidak akan membeli dan membenci yang akan berujung pada merosotnya nilai
penjualan bahkan bangkrut. ***
0 Komentar