Kekuatan yang sesungguhnya terletak pada pemanfaatan soft power, seperti strategi, taktik, citra, identitas, visual, kata-kata, reputasi dan gagasan.
(Catherine Kaputa, You Are Brand)
Penulis,
Karnoto | Founder MahartiBrand
Apa
yang dikatakan Catherine Kaputa mengenai soft power agak sulit
dibantah, karena faktanya di dalam dunia nyata kita menemukan
orang-orang sukses adalah mereka yang mampu menggunakan akal, taktik,
gagasan dan kata-katanya untuk dijual ke publik. Catherine adalah wanita
yang telah berakrir dalam dunia periklanan selama 20 tahun yang
mengawali karir sebagai ahli sejarah seni Jepang.
Saya ingin
menyambungkan pernyataan Catherine dengan mecontohkan beberapa pribadi
yang sukses membranding diri mereka. Sebut saja Andri Wongso, ia sukses
menjadi kaya raya hanya karena kata-kata motivasinya yang dianggap dan
mampu membangkitkan semangat.
Atau
Bob Sadino, pengusaha yang memiliki gaya busana yang unik karena hanya
menggunakan celana pendek. Dalam dunia politik, Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY) juga sukses karena pencitraan yang dilakukan oleh timnya sebagai
sosok yang gagah, tentara yang cerdas dan santun. Sementara itu, dalam
dunia entertainment kita Tukul, sosok lelaki yang artis yang dibranding
lelaki katro, wong ndeso tapi rezeki kota.
Pemanfaatan soft power atau membranding diri juga masuk dalam dunia
religi, dunia yang selama ini sepertinya jauh dari unjuk gigi atau dalam
istilah agama disebut ria. Sebut
saja, KH Abdullah Gymnastiar, dai kondang asal Bandung, Jawa Barat,
yang dikenal dengan manajemen qolbunya. Sebelumnya di era 80-an ada
Almarhum KH Zaenudin MZ, sebagai dai sejuta ummat. Terakhir ada Ustad
Maulana dengan taglinenya yang sering diungkapkan sejumlah kalangan
yaitu ustad jamaah.
Salahkah para juru dakwah itu?, salahkah artis, pengusaha termasuk
akademisi menjual diri dengan karakter uniknya masing-masing?
Mudah-mudahan jawaban saya dengan Anda sama yaitu tidak. Dalam ilmu
pemasaran, personal atau diri bisa dikategorikan sebagai
merek yang bisa dijual kepada publik dalam hal ini konsumen sesuai
dengan segmentasi pasar masing-masing.
Merek menurut American Marketing
Assoicaiton didefinisikan sebagai “nama,istilah, tanda, lambang, desain,
atau kombinasi, yang dimaksudkan untuk mengidentifikasi barang atau
jasa dari salah satu atau kelompok pesaing. Agar strategi penetapan
merek (branding) berhasil, Philip Kotler, ahli pemasaran dunia dalam
bukunya manajemen pemasaran, mengatakan konsumen harus diyakinkan bahwa ada perbedaan merek yang kita tawarkan dengan merek lainnya.
Dari sini penulis ingin sampaikan bahwa ide atau gagasan, citra yang
kita buat tidak akan laku dipasaran apabila tidak memiliki keunikan
dengan gagasan orang lain. Itu kenapa orang-orang yang kreativ lebih
sukses, karena tanpa dijual pun pasar dalam hal ini publik akan melirik
untuk kemudian membeli dan menjadi loyalis bagi Anda. Jadi, mulai dari
sekarang Anda harus mulai menggali apa yang membedakan diri Anda dengan
orang lain, sehingga publik tergoda untuk membeli ”Anda’.
Hal yang
pertama kali harus dilakukan agar diri kita memiliki brand adalah berkomitmen, itulah saran Catherine Kaputa dalam bukunya yang berjudul You Are Brand. Saran Catherine memang tepat, karena apapun yang kita ingingkan dan
impian tidak akan mampu kita capai kalau tidak ada komitmen yang
sungguh-sungguh. Dalam bahasa Islamnya adalah Man Jadda Wa Jadda, siapa
yang sungguh-sungguh maka dia yang akan berhasil.
Penulis sendiri
merasakan betul saran dari Catherine, sudah sejak tahun 2009 saya ingin
menulis buku tapi belum kesampaian. Ternyata factor utamanya adalah
komitmen yang lemah,sehingga gampang menyerah ketika menemui kendala
atau batu kerikil. Padahal, seharusnya saya mampu menyingkirkan
kerikil-kerikil itu.
Komitmen menulis buku mulai terorganisir saat
penulis mendalami pemasaran dan periklanan di bangku kuliah. Saya
ingin kembali mengingatkan, branding Anda harus berbeda dengan yang
lain jika ingin dibeli publik. Ini sudah terbukti di lapangan
sebagaimana yang saya sebutkan pada awal tulisan. ***
0 Komentar